Rabu, 24 Juli 2013

10 Reasons Why I Could be a Good Girlfriend

This is the list of 10 reasons why I'm sure that I could be a really really really good girlfriend:

1.                   I can cook well
2.                   I am pretty
3.                   I am smart
4.                   I love you more than anything in the world
5.                   Point 1, 2, 3 and 4 are totally lies
6.                   According to point number 5 you can see that I’m a girl who’s brave enough to admit my mistakes
7.                   And according to point number 6, I am the girl who confident enough to show my postive side
8.                   I am a girl who can makes you not realize what I did wrong,. At point number 7, the word is supposed to be ‘positive’ instead of ‘postive’. See?
9.                   But according to point number 8, I define that point number 6 is true. Then I am a girl who makes you doubt. I am also the girl who will tells you things you did not realize before, like in point 8.
10.                I am a girl who can makes you laugh (or at least smile). No? You didn’t laugh? Argh! Then this is my expression, apologizing to you…








PS: I am a girl who always wants to cheer you up. :)

Senin, 15 Juli 2013

Mantan: 'EX' for 'EXample'



Setiap ada pertemuan, pasti ada perpisahan. Setiap kita merajut cinta kita dengan seseorang, pasti ada yang namanya putus cinta. Lo semua yang pernah pacaran pasti punya mantan (kecuali masih langgeng sampe sekarang, selamat!). Sama kayak gue. Meskipun dikatakan di lagu dangdut bahwa cukup sekali merasakan kegagalan cinta, tapi nyatanya sampe sekarang gue udah punya 2 ekor—eh 2 orang maksud gue, yang pernah sangat berarti bagi gue, dan gue juga pernah menjadi sangat berarti bagi 2 orang ini. Nah, kali ini gue mau curhat soal pengalaman gue pas nyoba buat move on.

Awalnya tiap putus gue pasti jadi galau to the max. Bedanya gue lebih milih nggak express ke siapa pun. Karena gue sering liat tuh status-status galau di FB, tweets galau di twitter... dan rasanya kok nggak banget? Bahkan cenderung menjijikkan. Mulai dari "Cedih banget dech, aquuh cendiri lagi...", "Kamu tuch yach, kok tega bngetz cama aquuh!" sampe yang eeeuuuhh so gross like, "Aquuh pengend nangis di ujan, biar kamu yang disana nggak bisa ngeliad air mata cedih qu!". No no no, gue nggak mau dianggap menjijikkan sama orang-orang. Dan gue act cool, supaya 'Sang Mantan' (emangnya Nidji? :p) merasa kalo dia tuh totally nothing for me.

Tapi aslinya nih, tiap abis putus gue jadinya sebel banget sama mantan. Gue jadi sensi plus nyesek tiap denger namanya, gue pura-pura nggak liat pas dia lewat, semua yang dia lakukan rasanya salah (dia baik gue nganggepnya munafik, dia jahat gue kata-katain), yang dia katakan juga semua rasanya salah, gue galau, gue kabur dari rumah nggak bawa payung dan nangis di tengah hujan sampe diserempet mobil yang pengendaranya suka ngutuk-ngutuk orang—baiklah, yang terakhir nggak bener. Waktu itu gue inget kalo gue pengen banget nusuk matanya, gue pengen injak-injak mukanya, gue pengen bikin rem motornya blong, gue pengen pura-pura nggak sengaja boker di mukanya… dan yang paling penting, gue pengen punya mesin waktu biar gue kembali ke saat dia nembak gue, dan gue bakal tolak dia mentah-mentah.

Tapi semuanya nggak mungkin. Gue nggak mungkin nusuk matanya, nginjek mukanya, bikin rem motornya blong—gue nggak pengen masuk penjara ketemu sama napi-napi botak plustatoan dengan karakter melambai seperti di sinetron yang hobi ditonton para emak-emak salah gaul. Gue juga nggak mungkin bisa pura-pura nggak sengaja boker di mukanya (bayangin, kalo emang mau pura-pura, skenarionya bisa dibuat gimana coba? Dalam keadaan seperti apa lo bisa nggak sengaja boker di atas muka mantan lo?). Dan soal mesin waktu, itu lebih lebih lebih nggak mungkin lagi.

Nggak cukup nyalah-nyalahin mantan, gue juga bawaannya nyesel. Kalo diem malam-malam mandangi bulan dan bintang dari jendela kamar dengan mata menerawang—cukup melankolisnya, itu bohong—gue suka mikir, kenapa dulu gue gini… kenapa dulu gue gitu. Gue nyesel. Gue nyesel kenapa gue dulu jadian sama dia, kenapa nggak sama bokapnya aja—si Om seksi berkumis klimis dan berhati selembut kulit durian. Oke, nggak gitu. Gue nggak perlu nulis gue nyesel kenapa, (nah, yang kepo protes tuh!) yang pasti setiap kita mengalami kegagalan—baik dalam kehidupan percintaan atau lainnya—penyesalan pasti ada.

Sampai akhirnya gue baca tulisan dari buku Marmut Merah Jambu karangan calon suami gue, Raditya Dika (kita bakal married tanggal 30 Februari 2014! Mohon doa restunya ^^). Di dalam buku itu ada kata-kata yang kurang lebih seperti ini (nggak persis loh):
Setiap belalang sembah abis kawin, belalang sembah yang betina akan memakan kepala yang jantan. Serem abis, tapi kenapa masih ada belalang yang mau kawin? Emangnya emaknya si belalang (bokapnya udah pasti nggak ada) nggak ngasih tau anaknya ‘Nak, jangan kawin, nanti kepalamu buntung!’. Tapi gue mengambil kesimpulan sendiri bahwa semua belalang jantan udah tahu kepalanya bakalan dimakan kalo mereka kawin, tapi mereka tetep mau kawin. Kesimpulannya, belalang sembah jantan berani mati demi cinta. Seperti manusia, pacaran pada dasarnya punya risiko: ngambek, marah, dan akhirnya diselingkuhi, dan patah hati. Tapi kita tetep aja masih mau pacaran. Karena kita, seperti belalang, tahu bahwa untuk mencintai seseorang, butuh keberanian.

Habis baca tulisan Radith soal belalang sembah, gue mikir bahwa gue nggak seharusnya nyalahin orang ataupun diri sendiri untuk suatu hubungan percintaan yang gagal. Karena waktu gue mengiyakan pas dia nembak, gue sendiri sudah tau resiko dari berpacaran. Dan seperti belalang, gue tau bahwa untuk mencintai seseorang, butuh keberanian. Keberanian untuk menghadapi resiko yang mungkin datang. Keberanian untuk merasakan kegagalan. Keberanian untuk move on saat semuanya sudah berakhir. Keberanian untuk putus cinta.

Gue akhirnya sadar (kayak di film-film dimana pemainnya bilang “Aha!” dan lalu ada lampu bohlam kuning menyala di atas kepalanya entah kenapa dan bagaimana) tentang semua ini, dan itu karena tulisan jenaka ringan bermakna dalam dari Radith (Emang ya, calon laki gue inspiring abis). Itulah kenapa gue ngefans berat sama dia: dia bisa menghibur gue, nggak peduli gue lagi dalam kondisi seperti apa pun. Gue berterimakasih banget sama Radith for being such an awesome guy.

Setelah penerangan tiba-tiba tersebut, gue merasa it's time to just get over it. Gue kemudian mulai menyibukkan diri sama kegiatan-kegiatan bermanfaat yang selama ini gue malas jalanin. Gue lebih memperhatikan orang-orang yang care sama gue. Gue ngeblog. Gue berusaha menikmati ‘me time’ yang udah pasti bisa gue rasain hampir setiap waktu dikala jomblo. Dan akhirnya gue berhasil move on.

Dan lalu gue berpikir lagi, apa itu mantan? Mantan adalah orang yang pernah singgah dalam hidup kita dan pernah membiarkan dia menjadi milik kita, serta kita pernah membiarkan diri kita menjadi miliknya. Mantan adalah jodoh orang yang entah kenapa nyasar ke kita dan sempat kita miliki. Mantan bukan sekedar ‘barang bekas’ seperti yang para mantan-mantan kejam penuh dendam tuliskan di social media ("Mantanku udah punya cewek baru. Ya nggak papa, kata mamaku kita harus relain barang bekas kita yang udah nggak kita butuhkan ke orang lain yang kurang mampu", "Lo itu pantasnya di pasar loak, dasar cowok bekas!", "Mantan= Bekas= Nggak layak= Buang aja ke tong sampah dekat got depan rumah!", dan lain-lain). Kalo menurut gue, disebut 'bekas' itu lebih karena merekalah yang memberikan kenangan yang akan selalu membekas di benak kita (daleeeeem!). At last but not least, Mantan itu merupakan masa lalu yang patut dikenang di masa kini sebagai pelajaran untuk menghindari kegagalan yang sama di masa depan. Sekian dan terima kasih. :P

Selasa, 09 Juli 2013

Bad Habbit


Ada satu kebiasaan buruk gue yang paliiiiiiiiing susah dihilangin: gigit-gigit kuku. Gue suka banget gigit kuku kalo lagi sebel, lagi nervous, lagi bosan, lagi panik, lagi mikir, lagi nungguin tokai nongol pas di toilet—oke deh, gue ngaku: almost all the time. Udah gitu kalo kuku gue habis, gue suka banget gigit-gigit kulit yang ada disekeliling kuku. Dan parahnya, kalo udah keasikan dengan kegiatan ‘gigit-gigit’ ini, biasanya pinggiran kuku gue bisa sampe berdarah. Tell me it’s gross, but it’s just so hard to stop it!

Ini mungkin kebiasaan yang paling nggak anggun. Bayangin aja lo kenalan ama cewek, salaman, eh tangannya kasar (tangan gue emang kasar dari sononya), terus pas lo liatin tangannya, kukunya nggak rata terus pinggirannya luka-luka kayak cewek zombie di film-film bertema apocalypse. Hedeuuuh…. nggak banget kan? Tapi akhirnya gue berinisiatif untuk merubah kebiasaan ini, setelah sebuah hinaan sadis keluar dari mulut Nyokap.

Awalnya gue ngeliat catalogue Oriflame (Nyokap jualan Oriflame), dan ada kuteks yang kalo dipake, dia akan dengan sendirinya membentuk pola retak-retak setelah kering. Keren abis. Gue bilang ke nyokap gue mau tuh yang warna perak dan hitam. Nyokap malah bilang, “Kukumu udah retak-retak, nggak usah repot lagi make kuteks yang retak-retak,”. JLEB. Kenapa Nyokap gue sadis banget ya Tuhaaan?!

Oke, jadi gue berusaha keras ngerubah kebiasaan buruk gue ini. Ternyata ada satu metode yang lumayan efektif: pake aja nail polish. Ide ini muncul pas gue gaya-gayaan make kuteks (karena gue orangnya rada cuek soal penampilan dan jarang make macam-macam di kuku gue, jadi gue nggak pernah beli kuteks, cuma minjem aja kuteksnya kakak sepupu yang tinggal dirumah gue) padahal kuku gue butek. Terus pas gue gigit kuku… HOEEEK! Pahit, men! Akhirnya gue make kuteks dah, biar pelan-pelan gue bisa berhenti gigit-gigit kuku. Gue pinjem lagi dah tuh kuteks. Tapi satu hal yang entah kenapa gak gue sadari sebelumnya: warnanya merah menyala kayak lampu disko.

Di sekolah banyak yang komentar, soalnya tuh kuteks menyolok banget. Kebanyakan komentarnya ya… “Ciee… Kuteksnya booo!”. Gue senyam-senyum aja, nggak peduli. Tujuan gue pake kuteks kan cuan satu, biar gue nggak gigit-gigit kuku lagi, bukan buat gaya-gayaan. Terus Tere juga komentar, “Kuteks lo nyala banget warnanya, susah ngalihin pandangan dari situ”. Waktu dia bilang kalo susah ngalihin pandangan dari kuku gue, gue kira itu komentar yag positif. Tapi kemudian dia bilang lagi, “Kayak kuteksnya tante-tante girang di sinetron,”. JLEB! Tuhan, ambillah aku. Pulangnya, gue hapus tuh kuteks pake nail polish remover.

Setelah peristiwa ‘Kuteks Tante Girang’, gue minta dibeliin kuteks bening aja sama Nyokap. Sejak saat itu gue mulai pake kuteks bening dan nail buffer, biar kuku gue cantik dan gue nggak tega gigitnya. Namun ternyata semua itu nggak berlangsung lama. Pada akhirnya gue capek dan malas ngurusin kuku gue (lagi), dan pelan-pelan kebiasaan buruk mulai muncul lagi. Gue berusaha dan berjuang keras nggak gigit kuku-kuku tangan gue, karena jelek banget nantinya, apalagi tangan itu kan hampir selalu visible di tiap kegiatan. Tapi masak iya, gue musti gigit kuku kaki?

Sampai akhirnya kakak sepupu gue cerita kalo dulu dia tuh punya banyak kebiasaan buruk yang susah banget dihilanginnya. Mulai dari gigit-gigit kuku, malas belajar, dan lain-lain. Terus dia juga cerita soal cara dia mengatasi semua itu. Ternyata Nyokapnya dulu ngebantuin dia mengatasi kebiasaan-kebiasaan buruknya dengan cara ngasih reward berupa sesuatu yang dia pengen, kalau dia bisa meraih goal tertentu. Misalnya aja dikasih uang beberapa ratus ribu kalo selama 3 bulan dia bisa nahan nggak gigit-gigit kuku lagi (yang kata dia akhirnya benar-benar berhenti setelah pelan-pelan dibiasakan selama 3 bulan), dikasih tas bemerk yang dia pengen kalo dia bisa naikin peringkatnya, dan lain-lain.

Gue kemudian mikir, walaupun Nyokap gue bukan tipikal yang suka mengiming-imingi anaknya agar melakukan sesuatu (entah memang begitu cara dia mendidik anak atau memang dia pelit), bukan berarti gue nggak bisa ngedapetin reward atas apa yang susah payah gue lakuin. Gue juga bisa kok, ngasih diri gue sendiri reward tersebut.

Gue kemudian nyoba lagi buat ngilangin kebiasaan buruk gue yang suka gigit-gigit kuku sampe habis. Gue pake kuteks bening lagi, gue coba ngerawat kuku gue lagi, dan gue berusaha keras buat tetap ngelakuin hal ini secara rutin. Dan pelan-pelan gue mulai terbiasa nggak gigit-gigit kuku lagi (sampe sekarang). Gue pun dapat reward atas keberhasilan gue menghilangkan kebiasaan buruk: kuku yang terlihat lebih rapi dan indah. Tapi reward yang paling penting yang gue dapatkan adalah pemikiran baru di otak gue untuk bisa selalu menyayangi, merawat, memperhatikan dan tidak merusak bagian-bagian tubuh gue sendiri.

Jadi buat lo-lo yang pengen merubah sesuatu dari diri lo (perubahan yang positif ya), pikirin aja reward yang bakal lo kasih ke diri lo sendiri kalo bisa mencapai goal lo itu. Dan by the way gue sendiri nggak tau kenapa tapi postingan gue akhir-akhir ini tambah dalam (what happen to me, GOD?!) tapi semoga bisa membantu dan juga bermanfaat. :)


Jumat, 28 Juni 2013

The Result Is...? (Jeeeng Jeeeeng Jeeeeng!)

                Hari Sabtu pagi tanggal 22 Juni kemaren murid-murid sekolah gue semuanya pada tegang. Saking tegangnya mereka, mungkin kalo mereka semua dikumpulin dan masing-masing disuruh pegang kabel, mereka bisa menghasilkan tegangan listrik yang cukup untuk satu kota selama sebulan.  Mereka tegang nungguin penerimaan laporan pendidikan. Beda sama gue yang cuek-cuek aja. Bagi gue apa pun hasilnya, itu adalah yang terbaik yang sudah gue usahakan, jadi gue nggak peduli.

                Tapi memang peringkat memberikan tekanan yang lebih pada murid-murid. Turun dikit, bukan nggak mungkin pulangnya mereka disuguhi ceramah sejam dari Bonyok lengkap dengan pelukan di leher dengan tenaga maksimal. Beda sama Nyokap gue yang cuek aja soal peringkat. Paling dia cuma ceramah pendek dua-tiga kalimat. Ini yang bikin gue nggak tertekan.

                Waktu pembagiannya pun tiba. Gue yakin yang nggak tegang saat itu cuma murid yang semester lalu dapat peringkat terakhir—dia nggak tegang karena peringkatnya nggak mungkin turun. Curang ya? Kita semua dibagikan selembar surat yang berisi nilai-nilai kita, hasil belajar kita selama enam bulan. Pembagiannya diurutkan sesuai absen. Karena inisial nama gue ‘P’, gue dibagikan suratnya agak-agak belakangan—yang bikin gue agak deg-degan sampe mules. Akhirnya gue izin boker dulu. Boker—bagi gue—bisa menenangkan hati yang gundah (loh?).

Semester lalu gue peringkat 4. Walaupun Nyokap agak cuek soal peringkat, tapi gengsi juga dong sama teman-teman kalo misalnya peringkat gue turun. Pas nama gue dipanggil, gue ambil tuh surat dengan pikiran yang campur aduk. Gue nggak berani baca suratnya, jadi suratnya gue kasih ke Tere. Gue minta tolong dia baca peringkat gue dan kalo gue udah selesai hitung sampe tiga, dia bisa bilang surat itu merupakan berita baik atau buruk.

                “1… 2… 3! Baik apa buruk?!” gue agak-agak excited.

                “Hmmm…” gue nggak tau dia emang bingung apa emang sengaja dilama-lamain biar gue tegang.

                “Baik apa buruk? BAIK APA BURUK? BAIK APA BURRUUUUUKKKK?!!!” satu kelas hening. Mereka ngeliatin gue, gue nggak peduli. Gue melotot ke Tere.

                “Tetap,” kata dia. Gue narik napas lega. Itu berarti gue nggak bakal ditertawain sama siapa pun.

                Sekarang giliran Tere yang nggak karuan. Dia tegang. Gue maklum, tekanannya lebih besar dari gue. Sejak dua semester yang lalu dia 2 kali berturut-turut bertahan di peringkat pertama. Dia emang rajin dan otaknya encer.

                Beda sama gue, Tere lebih berani dan langsung baca sendiri suratnya tanpa ba-bi-bu lagi pas dia udah dibagikan surat tersebut. Dia yang awalnya rada-rada lesu karena nggak yakin semester ini bisa bertahan, tiba-tiba teriak histeris dan lalu meluk gue. Dia meluk gue agak kencang, gue sampe bisa ngerasain tetenya. Gue tanya kenapa dan dia ngeliatin kertasnya. Dia masih tetap juara satu. Gue senyum.

                Pulangnya, gue dengan senang bilang ke Nyokap kalo gue bertahan. Dia diem, ekspresinya datar dan dahinya berkerut. Gue kira napa, gue mau nanya tapi nggak jadi pas gue dengar suatu bunyi merdu yang familiar, “Breet”. Rupanya tadi Nyokap ngeden pengen kentut. Terus gue ulang lagi, gue bilang lagi kalo gue ternyata bisa mempertahankan peringkat gue. Dia bilang “Yaah… Tapi sebenarnya kamu sendiri tau kan, kalo itu belum yang maksimal?” gue jawab bahwa itu emang udah yang paling maksimal yang bisa gue lakuin dan gue juga nyebutin beberapa alasan kenapa gue nggak bisa naik peringkat, dan dia bilang lagi “Nggak tau deh, tanya aja dirimu sendiri,”.

                Lalu berbagai flashback mulai bermunculan di otak gue seperti rangkaian film yang dipercepat. Segala hal yang terjadi selama enam bulan ini berputar kembali di otak gue. Nyokap benar, ini belum yang maksimal. Emang sih hasilnya lumayan, tapi bukan hasil terbaik yang bisa gue raih. Dari tadi gue ngebuat-buat alasan-alasan tertentu yang gue list di otak gue, tentang kenapa sampe gue nggak bisa naik peringkat. Tapi satu hal yang nggak bisa gue terima dan gue tutup-tutupin dari diri gue sendiri sejak tadi: ini semua karena gue sendiri.

Gue nggak bodoh kok, cuma kena sindrom kemalasan tingkat kronis. Suka lupa ngerjain PR, suka nggak belajar pas ada ulangan harian, suka menganggap remeh pelajaran, dan lain-lain. Dan saat itulah gue bertekad pada diri gue sendiri, bahwa semester depan gue harus bisa lebih baik dibanding sekarang, dan bahwa semester depan gue harus bisa pulang ke rumah mengabarkan peringkat gue ke Nyokap, dan saat mendengarnya dia tersenyum bangga ke gue.
           
     Mungkin postingan gue kali ini agak beda sama postingan sebelum-sebelumnya, tapi mohon dimaklumi—gue lagi galau masalah peringkat. Orang lain galau karena di PHP-in, ada juga yang galau karena mereka terus mikir kenapa nggak ditembak-tembak, kenapa pacarnya nggak bisa ngerti dia, kenapa gebetannya lebih milih cewek yang giginya taring semua dibanding dia, kenapa oh kenapa… Tapi gue malah galau soal peringkat, gue malah galau soal nilai. Gue merasa tidak normal sebagai ABG yang sedang dalam masa puber. Jadi biar semester depan gue nggak galau lagi soal peringkat dan bisa galau soal yang lain-lain (yang lain-lain apa tuuuh?), mohon doain gue biar bisa meningkatkan prestasi gue kedepannya. Amin. 

Minggu, 23 Juni 2013

Cewek Itu Aneh!


Dalam berteman, gue lebih banyak bergaul sama cowok-cowok dibanding sama cewek-cewek. Banyak hal sebenarnya yang membuat gue lebih senang bergaul sama cowok dibanding cewek, dan salah satu alasannya adalah: Cewek itu aneh. Yaa, tapi bukan berarti semua cewek aneh kayak yang bakal gue ceritain kali ini, tapi mayoritasnya emang aneh.

Salah satu hal aneh dari teman-teman cewek gue yang bikin gue gerah adalah cara mereka nongkrong. Beda banget sama cowok. Nih ya, gue jelasin mekanisme nongkrong cowok dan cewek:
           
Mekanisme nongkrong cowok:
Ke café Ã¨ Mesan makanan/minuman Ã¨ Cerita-cerita Ã¨ Ngobrol  Ã¨ Mata jelalatan ngeliat cewek lewat Ã¨ Ngomentari cewek-cewek di café Ã¨ Ngobrol lagi Ã¨ Bayar Ã¨ Pulang

Mekanisme nongkrong cewek:
Ke café Ã¨ Mesan makanan/minuman Ã¨ Foto-foto (makanannya juga difoto) Ã¨  Ngobrol bentar Ã¨ Twitpic, terus nyantumin lokasi dan nge-mention teman-temannya yang lagi nongkrong bareng dia Ã¨ Ada yang reply Ã¨ Balas-balasan reply sama orang lain di twitter Ã¨ Sibuk sama twitter Ã¨ Temannya dilupain Ã¨ Bayar Ã¨ Pulang

Aneh kan? Bukan cuma itu aja, masih banyak lagi keanehan lainnya. Contohnya kalo foto-fotoan. Kalo cowok difoto tuh mereka masang tampang cool doang atau sekedar senyum, terus difoto, selesai deh. Beda sama cewek.  Inilah yang paling sering terjadi apabila ada cewek yang minta tolong gue untuk motret dia:

“Mit, fotoin gue dong!” dia nyerahin hapenya.

“Oke,” gue mengiyakan walaupun gue udah tau peristiwa apa yang bakal menimpa gue.

JEPRET! “Nih, udah,” gue ngeliatin hasil fotonya ke dia.

“Yah, senyum gue aneh disini. Sekali lagi ya?” padahal setelah diulang 192845096025359 kali, senyumnya tetap gitu.

“Oke,”

JEPRET! “Udah nih,” gue ngeliatin dia hasil fotonya lagi.

“Ih poni gue nggak rapi nih,” LEM AJA PONI LO!

“Lagi ya, Mit?” dia mulai pasang muka melas.

Dan seterusnya. Biasanya dalam satu kali seorang cewek ngomong “Fotoin gue yah?” sesi pemotretan bisa berlangsung sekitar 2 jam setengah. Belum lagi kalo motretnya di tempat yang anginnya kencang, mereka akan sering komplain soal poni mereka yang terbang kemana-mana. Jadi, buat lo semua yang nggak pengen terjebak dalam situasi kayak gini, satu-satunya solusi adalah: Pura-pura budeg pas ada cewek yang ngomong “Eh fotoin gue ya,” atau kalo perlu, pura-pura mati.

Gaya cewek kalo foto-foto itu juga aneh. Mereka suka banget bikin duck face (bibirnya dimonyongin kayak bebek) dan anus face (bibirnya dimonyongin dan dikerutin sampe mirip anus). Gue nggak pernah ngerti pose-pose ini tujuannya apa. Belum lagi biasanya mereka juga naruh-naruh telunjuk segala di depan bibir… HIIIIH. Ada lagi nih yang matanya sengaja disipit-sipitin. Gue yang emang udah sipit dari sononya jadi tersinggung dong!

Terus biasanya cewek tuh kalo ngupload foto, suka banget menulis caption yang nggak berhubungan sama fotonya. Contohnya di fotonya dia lagi senyum sambil kasih tanda peace dua jari, tapi captionnya “Baru makan burger!”. What the—. Ada juga yang captionnya galau, gimanapun posenya di foto. Misalnya nih, fotonya dia lagi senyum,  tapi captionnya malah “Maybe I’m smiling, but there is no guarantee that I’m happy.” Kalo emang nggak happy¸ngapain pura-pura senyum, neng? Terus kalo lo cuma pura-pura senyum, ngapain lo bilangin ke orang-orang kalo lo cuma pura-pura? Ckckck…

Ada lagi nih, yang aneh dari cewek, mereka suka banget heboh. Beda sama cowok yang kalem-kalem aja. Cewek tuh sukanya heboh kalo: Ngobrol tentang gebetan (“TERUS, TERUS DIA BILANG ‘MET BOBO YAA’ IH CUTE BANGET DEH!”), ngeliat cowok cakep (baik di TV, majalah atau langsung), ngobrol tentang artis idola mereka (“ASTAGA SIWON CAKEEEEP!”), ngegosip soal orang laen (“TAU GAK, SI X TADI BOKER DI CELANA! IHHHH!”), dan masih banyak hal lainnya. Terus kalo heboh, segerombolan cewek bisa mengalahkan sekawanan gajah Afrika. Suara mereka itu bisa mematikan.

Gue juga sebel kalo ada temen cewek gue yang patah hati dan kemudian curhat sama gue (gue juga nggak tau kenapa mereka segitu desperatenya sampe curhat ke orang yang jelas-jelas salah). Mereka selalu bilang:

“Emang ya, cowok itu nggak pernah bisa ngertiin kita,”

“Semua  cowok tuh sama…” terus ngapain milih? SEMUANYA KAN SAMA, BEGO!

“Cowok itu ya, kalau buka bajingan, berarti dia homo!” Ckckck main prejudice lagi.

Dan… seterusnya, dan seterusnya. Buat cewek-cewek, kalo emang cowok lo bajingan, jangan samain dia sama semua cowok dong! Kasian kan mereka? Masak iya cowok lo selingkuh, semua cowok dibilang bajingan? Terus masak karena lo punya temen cowok yang homo dan baik, semua cowok baik dibilangin homo? Ya konyol aja kan?

Jadi itulah sedikit uraian mengenai cewek dan keanehan mereka. Masih banyak sebenarnya, tapi gue takut jari gue keriting karena kelamaan ngetik (dan takut dicomplain or even digebukin sama cewek-cewek)—keanehan cewek tuh nggak terbatas, begitu pula kelebihan mereka. Cewek adalah makhluk yang indah nan lembut, selalu mengutamakan perasaan dan kasih sayang, lebih peduli sesama dan lebih pintar dalam me-manage segala sesuatunya. Kebanyakan cewek juga lebih rajin dan berprestasi dibanding cowok. So, walaupun cewek itu aneh, hargailah mereka. Sekian.

Rabu, 19 Juni 2013

Cewek Apa Cowok?!

          Mungkin bisa dibilang gue adalah manusia paling ga ada kerjaan di dunia. Kerja gue tiap hari cuman melototin laptop, ngecek twitter, fesbuk, 9gag, dan browsing tentang pertanyaan-pertanyaan aneh yang muncul di otak tapi malu untuk ditanyakan pada orang di kehidupan nyata. Mulai dari pertanyaan-pertanyaan pointless seperti "Apakah Doraemon juga boker", "Siapa pemilik bulu ketek terpanjang di dunia", "Bagaimana agar kentut kita berbau seperti parfum", sampai yang kejam seperti "Bagaimana membunuh orang tanpa ketahuan" dan "Dukun santet tarif termurah". Tapi namanya juga ABG, gue juga hobi mensearch hal-hal yang behubungan dengan cinta (eaaa). Dan entah mengapa tiap nge-search mengenai itu, banyak banget iklan-iklan (baik yang pop-up maupun cuman yang nongol di samping artikel) yang muncul, mulai dari tawaran kecan buta sampe yang bunyinya kira kira: "Anda kesepian? Tante X siap menemani.", "Mahasiswi butuh duit, apakah Anda ingin membantu?" dan lain-lain. Hell, gue ga segitu desperate-nya nyari cowo kali, sampe harus membelokkan orientasi seks dan mulai pake alternatif tante-tante dan mahasiswi butuh duit.

          Dan di internet—kalo buka artikel soal cinta-cintaan—banyak kata-kata dan kalimat di sana yang menerangkan perbedaan pemikiran antara cowok dan cewek. Ada yang bilang cewek itu kalo mau sesuatu nggak langsung ngomong, tapi mancing dulu biar kesannya dia nggak minta tapi si cowok yang nawarin. Beda dengan cowok yang kalau mau apa-apa langsung to the point. Ada juga yang bilang kalo cewek tuh suka heboh sama hal-hal kecil, beda sama cowok yang lebih seringnya cuek aja. Menurut mereka juga, cewek suka ngelarang cowoknya yang macam-macam, nggak boleh inilah, nggak boleh itulah… Sedangkan cowok lebih menghargai apa yang ceweknya inginkan. Habis baca semua ini, muncullah sebuah pertanyaan di otak gue: Apa bener gue ini cewek? Tiba-tiba pemikiran mengerikan muncul, bahwa mungkin saja gue ini sebenarnya terlahir sebagai cowok, cuma waktu kecil titit gue dipotong habis dan dilubangi karena obsesi nyokap untuk punya anak betina… hiiiiih.

Sumpah gue nggak ngerti kenapa pikiran gue nggak ‘cewek’. Kalo bergaul sama teman-teman gue yang ‘cewek banget’ juga kadang gue merasa mereka itu konyol, Liat baju bagus di internet, heboh. Liat artis Korea yang cakep, heboh. Liat adegan romantis dikit, heboh. Denger gue cursing dikit, heboh. Liat bokapnya di gebukin preman, heboh (ya iyalah). Pokoknya gue bener-bener tidak merasa seperti cewek… sampai akhirnya gue ketemu dua temen yang sama anehnya sama gue. Theresia dan Eddtwin. Kita bertiga nggak ngerasa kayak cowok, nggak juga ngerasa kayak cewek. Setelah perdebatan panjang tentang ini itu kita akhirnya mutusin bahwa kita normal, hanya saja mindsetnya beda dari cowok-cowok dan cewek-cewek kebanyakan. Jadi ya… bisa dibilang kita spesial gitu (cieee).

Simpelnya, akhirnya kita bertiga jadi dekat karena punya banyak kesamaan. Mulai dari selera humor, selera musik, hingga kejorokan dan kebrutalan yang sama. Eddtwin sempat heran waktu gue dan Tere mandangin foto orang yang perutnya kebuka (mungkin karena pembunuhan atau kecelakaan) di disturbing picture-nya Kaskus dengan muka datar tanpa ekspresi. Kita berdua malah ngelanjutin browsing disturbing picture lainnya. Pas muncul gambar tokai, gue—entah kenapa—spontan nyeletuk “wow”. Eddtwin hampir pingsan. Mungkin dia berpikir, dua cewek jorok nan brutal macam apakah yang sedang menerawangi layar komputernya?

Eddtwin sering jadi korban gue. Gue suka nggak fair sama dia kalo urusan bantah-membantah. Kalau gue menang bantah-bantahan, gue bakal nyombongin diri dan terus-terusan bilang dia payah. Kalau dia yang menang bantah-bantahan dan dia bilang gue payah, gue bakal tendang tititnya. Eddtwin sok kuat padahal bibirnya tiba-tiba pucat, gue cuma mandangin dia dan tertawa kejam penuh kemenangan (jahat ya?). Muahahaha. Hingga akhirnya kini Eddtwin telah berevolusi dan memiliki refleks yang cepat untuk merapatkan kedua kakinya ketika ekspresi gue sudah mulai berubah.

Beda sama Eddtwin, Tere lebih brutal dari gue. Jadi gue tunduk aja kalo bantah-bantahan sama dia. Mulutnya tajam dan nggak tanggung-tanggung. Rasanya JLEB kalo berargumen sama dia. Lebih baik dihindari. Tapi Tere baik kok, unyu pula (ini antisipasi aja kalo kebetulan dia baca postingan gue, Tere kalo nyubit sadis). Yak, sampe di sini dulu ya cerita tentang gue kali ini, Nyokap udah nyuruh makan. Ada ‘Chicken Curry Noodles with Sunny Side up’ (baca: Indomie Kari Ayam plus telor ceplok) menunggu di atas meja. Dadaaaah…