Rabu, 24 Juli 2013

10 Reasons Why I Could be a Good Girlfriend

This is the list of 10 reasons why I'm sure that I could be a really really really good girlfriend:

1.                   I can cook well
2.                   I am pretty
3.                   I am smart
4.                   I love you more than anything in the world
5.                   Point 1, 2, 3 and 4 are totally lies
6.                   According to point number 5 you can see that I’m a girl who’s brave enough to admit my mistakes
7.                   And according to point number 6, I am the girl who confident enough to show my postive side
8.                   I am a girl who can makes you not realize what I did wrong,. At point number 7, the word is supposed to be ‘positive’ instead of ‘postive’. See?
9.                   But according to point number 8, I define that point number 6 is true. Then I am a girl who makes you doubt. I am also the girl who will tells you things you did not realize before, like in point 8.
10.                I am a girl who can makes you laugh (or at least smile). No? You didn’t laugh? Argh! Then this is my expression, apologizing to you…








PS: I am a girl who always wants to cheer you up. :)

Senin, 15 Juli 2013

Mantan: 'EX' for 'EXample'



Setiap ada pertemuan, pasti ada perpisahan. Setiap kita merajut cinta kita dengan seseorang, pasti ada yang namanya putus cinta. Lo semua yang pernah pacaran pasti punya mantan (kecuali masih langgeng sampe sekarang, selamat!). Sama kayak gue. Meskipun dikatakan di lagu dangdut bahwa cukup sekali merasakan kegagalan cinta, tapi nyatanya sampe sekarang gue udah punya 2 ekor—eh 2 orang maksud gue, yang pernah sangat berarti bagi gue, dan gue juga pernah menjadi sangat berarti bagi 2 orang ini. Nah, kali ini gue mau curhat soal pengalaman gue pas nyoba buat move on.

Awalnya tiap putus gue pasti jadi galau to the max. Bedanya gue lebih milih nggak express ke siapa pun. Karena gue sering liat tuh status-status galau di FB, tweets galau di twitter... dan rasanya kok nggak banget? Bahkan cenderung menjijikkan. Mulai dari "Cedih banget dech, aquuh cendiri lagi...", "Kamu tuch yach, kok tega bngetz cama aquuh!" sampe yang eeeuuuhh so gross like, "Aquuh pengend nangis di ujan, biar kamu yang disana nggak bisa ngeliad air mata cedih qu!". No no no, gue nggak mau dianggap menjijikkan sama orang-orang. Dan gue act cool, supaya 'Sang Mantan' (emangnya Nidji? :p) merasa kalo dia tuh totally nothing for me.

Tapi aslinya nih, tiap abis putus gue jadinya sebel banget sama mantan. Gue jadi sensi plus nyesek tiap denger namanya, gue pura-pura nggak liat pas dia lewat, semua yang dia lakukan rasanya salah (dia baik gue nganggepnya munafik, dia jahat gue kata-katain), yang dia katakan juga semua rasanya salah, gue galau, gue kabur dari rumah nggak bawa payung dan nangis di tengah hujan sampe diserempet mobil yang pengendaranya suka ngutuk-ngutuk orang—baiklah, yang terakhir nggak bener. Waktu itu gue inget kalo gue pengen banget nusuk matanya, gue pengen injak-injak mukanya, gue pengen bikin rem motornya blong, gue pengen pura-pura nggak sengaja boker di mukanya… dan yang paling penting, gue pengen punya mesin waktu biar gue kembali ke saat dia nembak gue, dan gue bakal tolak dia mentah-mentah.

Tapi semuanya nggak mungkin. Gue nggak mungkin nusuk matanya, nginjek mukanya, bikin rem motornya blong—gue nggak pengen masuk penjara ketemu sama napi-napi botak plustatoan dengan karakter melambai seperti di sinetron yang hobi ditonton para emak-emak salah gaul. Gue juga nggak mungkin bisa pura-pura nggak sengaja boker di mukanya (bayangin, kalo emang mau pura-pura, skenarionya bisa dibuat gimana coba? Dalam keadaan seperti apa lo bisa nggak sengaja boker di atas muka mantan lo?). Dan soal mesin waktu, itu lebih lebih lebih nggak mungkin lagi.

Nggak cukup nyalah-nyalahin mantan, gue juga bawaannya nyesel. Kalo diem malam-malam mandangi bulan dan bintang dari jendela kamar dengan mata menerawang—cukup melankolisnya, itu bohong—gue suka mikir, kenapa dulu gue gini… kenapa dulu gue gitu. Gue nyesel. Gue nyesel kenapa gue dulu jadian sama dia, kenapa nggak sama bokapnya aja—si Om seksi berkumis klimis dan berhati selembut kulit durian. Oke, nggak gitu. Gue nggak perlu nulis gue nyesel kenapa, (nah, yang kepo protes tuh!) yang pasti setiap kita mengalami kegagalan—baik dalam kehidupan percintaan atau lainnya—penyesalan pasti ada.

Sampai akhirnya gue baca tulisan dari buku Marmut Merah Jambu karangan calon suami gue, Raditya Dika (kita bakal married tanggal 30 Februari 2014! Mohon doa restunya ^^). Di dalam buku itu ada kata-kata yang kurang lebih seperti ini (nggak persis loh):
Setiap belalang sembah abis kawin, belalang sembah yang betina akan memakan kepala yang jantan. Serem abis, tapi kenapa masih ada belalang yang mau kawin? Emangnya emaknya si belalang (bokapnya udah pasti nggak ada) nggak ngasih tau anaknya ‘Nak, jangan kawin, nanti kepalamu buntung!’. Tapi gue mengambil kesimpulan sendiri bahwa semua belalang jantan udah tahu kepalanya bakalan dimakan kalo mereka kawin, tapi mereka tetep mau kawin. Kesimpulannya, belalang sembah jantan berani mati demi cinta. Seperti manusia, pacaran pada dasarnya punya risiko: ngambek, marah, dan akhirnya diselingkuhi, dan patah hati. Tapi kita tetep aja masih mau pacaran. Karena kita, seperti belalang, tahu bahwa untuk mencintai seseorang, butuh keberanian.

Habis baca tulisan Radith soal belalang sembah, gue mikir bahwa gue nggak seharusnya nyalahin orang ataupun diri sendiri untuk suatu hubungan percintaan yang gagal. Karena waktu gue mengiyakan pas dia nembak, gue sendiri sudah tau resiko dari berpacaran. Dan seperti belalang, gue tau bahwa untuk mencintai seseorang, butuh keberanian. Keberanian untuk menghadapi resiko yang mungkin datang. Keberanian untuk merasakan kegagalan. Keberanian untuk move on saat semuanya sudah berakhir. Keberanian untuk putus cinta.

Gue akhirnya sadar (kayak di film-film dimana pemainnya bilang “Aha!” dan lalu ada lampu bohlam kuning menyala di atas kepalanya entah kenapa dan bagaimana) tentang semua ini, dan itu karena tulisan jenaka ringan bermakna dalam dari Radith (Emang ya, calon laki gue inspiring abis). Itulah kenapa gue ngefans berat sama dia: dia bisa menghibur gue, nggak peduli gue lagi dalam kondisi seperti apa pun. Gue berterimakasih banget sama Radith for being such an awesome guy.

Setelah penerangan tiba-tiba tersebut, gue merasa it's time to just get over it. Gue kemudian mulai menyibukkan diri sama kegiatan-kegiatan bermanfaat yang selama ini gue malas jalanin. Gue lebih memperhatikan orang-orang yang care sama gue. Gue ngeblog. Gue berusaha menikmati ‘me time’ yang udah pasti bisa gue rasain hampir setiap waktu dikala jomblo. Dan akhirnya gue berhasil move on.

Dan lalu gue berpikir lagi, apa itu mantan? Mantan adalah orang yang pernah singgah dalam hidup kita dan pernah membiarkan dia menjadi milik kita, serta kita pernah membiarkan diri kita menjadi miliknya. Mantan adalah jodoh orang yang entah kenapa nyasar ke kita dan sempat kita miliki. Mantan bukan sekedar ‘barang bekas’ seperti yang para mantan-mantan kejam penuh dendam tuliskan di social media ("Mantanku udah punya cewek baru. Ya nggak papa, kata mamaku kita harus relain barang bekas kita yang udah nggak kita butuhkan ke orang lain yang kurang mampu", "Lo itu pantasnya di pasar loak, dasar cowok bekas!", "Mantan= Bekas= Nggak layak= Buang aja ke tong sampah dekat got depan rumah!", dan lain-lain). Kalo menurut gue, disebut 'bekas' itu lebih karena merekalah yang memberikan kenangan yang akan selalu membekas di benak kita (daleeeeem!). At last but not least, Mantan itu merupakan masa lalu yang patut dikenang di masa kini sebagai pelajaran untuk menghindari kegagalan yang sama di masa depan. Sekian dan terima kasih. :P

Selasa, 09 Juli 2013

Bad Habbit


Ada satu kebiasaan buruk gue yang paliiiiiiiiing susah dihilangin: gigit-gigit kuku. Gue suka banget gigit kuku kalo lagi sebel, lagi nervous, lagi bosan, lagi panik, lagi mikir, lagi nungguin tokai nongol pas di toilet—oke deh, gue ngaku: almost all the time. Udah gitu kalo kuku gue habis, gue suka banget gigit-gigit kulit yang ada disekeliling kuku. Dan parahnya, kalo udah keasikan dengan kegiatan ‘gigit-gigit’ ini, biasanya pinggiran kuku gue bisa sampe berdarah. Tell me it’s gross, but it’s just so hard to stop it!

Ini mungkin kebiasaan yang paling nggak anggun. Bayangin aja lo kenalan ama cewek, salaman, eh tangannya kasar (tangan gue emang kasar dari sononya), terus pas lo liatin tangannya, kukunya nggak rata terus pinggirannya luka-luka kayak cewek zombie di film-film bertema apocalypse. Hedeuuuh…. nggak banget kan? Tapi akhirnya gue berinisiatif untuk merubah kebiasaan ini, setelah sebuah hinaan sadis keluar dari mulut Nyokap.

Awalnya gue ngeliat catalogue Oriflame (Nyokap jualan Oriflame), dan ada kuteks yang kalo dipake, dia akan dengan sendirinya membentuk pola retak-retak setelah kering. Keren abis. Gue bilang ke nyokap gue mau tuh yang warna perak dan hitam. Nyokap malah bilang, “Kukumu udah retak-retak, nggak usah repot lagi make kuteks yang retak-retak,”. JLEB. Kenapa Nyokap gue sadis banget ya Tuhaaan?!

Oke, jadi gue berusaha keras ngerubah kebiasaan buruk gue ini. Ternyata ada satu metode yang lumayan efektif: pake aja nail polish. Ide ini muncul pas gue gaya-gayaan make kuteks (karena gue orangnya rada cuek soal penampilan dan jarang make macam-macam di kuku gue, jadi gue nggak pernah beli kuteks, cuma minjem aja kuteksnya kakak sepupu yang tinggal dirumah gue) padahal kuku gue butek. Terus pas gue gigit kuku… HOEEEK! Pahit, men! Akhirnya gue make kuteks dah, biar pelan-pelan gue bisa berhenti gigit-gigit kuku. Gue pinjem lagi dah tuh kuteks. Tapi satu hal yang entah kenapa gak gue sadari sebelumnya: warnanya merah menyala kayak lampu disko.

Di sekolah banyak yang komentar, soalnya tuh kuteks menyolok banget. Kebanyakan komentarnya ya… “Ciee… Kuteksnya booo!”. Gue senyam-senyum aja, nggak peduli. Tujuan gue pake kuteks kan cuan satu, biar gue nggak gigit-gigit kuku lagi, bukan buat gaya-gayaan. Terus Tere juga komentar, “Kuteks lo nyala banget warnanya, susah ngalihin pandangan dari situ”. Waktu dia bilang kalo susah ngalihin pandangan dari kuku gue, gue kira itu komentar yag positif. Tapi kemudian dia bilang lagi, “Kayak kuteksnya tante-tante girang di sinetron,”. JLEB! Tuhan, ambillah aku. Pulangnya, gue hapus tuh kuteks pake nail polish remover.

Setelah peristiwa ‘Kuteks Tante Girang’, gue minta dibeliin kuteks bening aja sama Nyokap. Sejak saat itu gue mulai pake kuteks bening dan nail buffer, biar kuku gue cantik dan gue nggak tega gigitnya. Namun ternyata semua itu nggak berlangsung lama. Pada akhirnya gue capek dan malas ngurusin kuku gue (lagi), dan pelan-pelan kebiasaan buruk mulai muncul lagi. Gue berusaha dan berjuang keras nggak gigit kuku-kuku tangan gue, karena jelek banget nantinya, apalagi tangan itu kan hampir selalu visible di tiap kegiatan. Tapi masak iya, gue musti gigit kuku kaki?

Sampai akhirnya kakak sepupu gue cerita kalo dulu dia tuh punya banyak kebiasaan buruk yang susah banget dihilanginnya. Mulai dari gigit-gigit kuku, malas belajar, dan lain-lain. Terus dia juga cerita soal cara dia mengatasi semua itu. Ternyata Nyokapnya dulu ngebantuin dia mengatasi kebiasaan-kebiasaan buruknya dengan cara ngasih reward berupa sesuatu yang dia pengen, kalau dia bisa meraih goal tertentu. Misalnya aja dikasih uang beberapa ratus ribu kalo selama 3 bulan dia bisa nahan nggak gigit-gigit kuku lagi (yang kata dia akhirnya benar-benar berhenti setelah pelan-pelan dibiasakan selama 3 bulan), dikasih tas bemerk yang dia pengen kalo dia bisa naikin peringkatnya, dan lain-lain.

Gue kemudian mikir, walaupun Nyokap gue bukan tipikal yang suka mengiming-imingi anaknya agar melakukan sesuatu (entah memang begitu cara dia mendidik anak atau memang dia pelit), bukan berarti gue nggak bisa ngedapetin reward atas apa yang susah payah gue lakuin. Gue juga bisa kok, ngasih diri gue sendiri reward tersebut.

Gue kemudian nyoba lagi buat ngilangin kebiasaan buruk gue yang suka gigit-gigit kuku sampe habis. Gue pake kuteks bening lagi, gue coba ngerawat kuku gue lagi, dan gue berusaha keras buat tetap ngelakuin hal ini secara rutin. Dan pelan-pelan gue mulai terbiasa nggak gigit-gigit kuku lagi (sampe sekarang). Gue pun dapat reward atas keberhasilan gue menghilangkan kebiasaan buruk: kuku yang terlihat lebih rapi dan indah. Tapi reward yang paling penting yang gue dapatkan adalah pemikiran baru di otak gue untuk bisa selalu menyayangi, merawat, memperhatikan dan tidak merusak bagian-bagian tubuh gue sendiri.

Jadi buat lo-lo yang pengen merubah sesuatu dari diri lo (perubahan yang positif ya), pikirin aja reward yang bakal lo kasih ke diri lo sendiri kalo bisa mencapai goal lo itu. Dan by the way gue sendiri nggak tau kenapa tapi postingan gue akhir-akhir ini tambah dalam (what happen to me, GOD?!) tapi semoga bisa membantu dan juga bermanfaat. :)