Setiap ada pertemuan, pasti
ada perpisahan. Setiap kita merajut cinta kita dengan seseorang, pasti ada yang
namanya putus cinta. Lo semua yang pernah pacaran pasti punya mantan (kecuali
masih langgeng sampe sekarang, selamat!). Sama kayak gue. Meskipun dikatakan di
lagu dangdut bahwa cukup sekali merasakan kegagalan cinta, tapi nyatanya sampe
sekarang gue udah punya 2 ekor—eh 2 orang maksud gue, yang pernah sangat
berarti bagi gue, dan gue juga pernah menjadi sangat berarti bagi 2 orang ini.
Nah, kali ini gue mau curhat soal pengalaman gue pas nyoba buat move on.
Awalnya tiap putus gue pasti
jadi galau to the max. Bedanya gue lebih milih nggak express ke
siapa pun. Karena gue sering liat tuh status-status galau di FB, tweets galau
di twitter... dan rasanya kok nggak banget? Bahkan cenderung menjijikkan. Mulai
dari "Cedih banget dech, aquuh cendiri lagi...", "Kamu tuch
yach, kok tega bngetz cama aquuh!" sampe yang eeeuuuhh so gross
like, "Aquuh pengend nangis di ujan, biar kamu yang disana nggak
bisa ngeliad air mata cedih qu!". No no no, gue nggak mau
dianggap menjijikkan sama orang-orang. Dan gue act cool, supaya
'Sang Mantan' (emangnya Nidji? :p) merasa kalo dia tuh totally nothing
for me.
Tapi aslinya nih, tiap abis
putus gue jadinya sebel banget sama mantan. Gue jadi sensi plus nyesek
tiap denger namanya, gue pura-pura nggak liat pas dia lewat, semua yang dia
lakukan rasanya salah (dia baik gue nganggepnya munafik, dia jahat gue
kata-katain), yang dia katakan juga semua rasanya salah, gue galau, gue kabur
dari rumah nggak bawa payung dan nangis di tengah hujan sampe diserempet mobil
yang pengendaranya suka ngutuk-ngutuk orang—baiklah, yang terakhir nggak bener.
Waktu itu gue inget kalo gue pengen banget nusuk matanya, gue pengen
injak-injak mukanya, gue pengen bikin rem motornya blong, gue pengen pura-pura
nggak sengaja boker di mukanya… dan yang paling penting, gue pengen punya mesin
waktu biar gue kembali ke saat dia nembak gue, dan gue bakal tolak dia
mentah-mentah.
Tapi semuanya nggak mungkin.
Gue nggak mungkin nusuk matanya, nginjek mukanya, bikin rem motornya blong—gue
nggak pengen masuk penjara ketemu sama napi-napi botak plustatoan
dengan karakter melambai seperti di sinetron yang hobi ditonton para emak-emak
salah gaul. Gue juga nggak mungkin bisa pura-pura nggak sengaja boker di
mukanya (bayangin, kalo emang mau pura-pura, skenarionya bisa dibuat gimana
coba? Dalam keadaan seperti apa lo bisa nggak sengaja boker di atas muka mantan
lo?). Dan soal mesin waktu, itu lebih lebih lebih nggak mungkin lagi.
Nggak cukup nyalah-nyalahin
mantan, gue juga bawaannya nyesel. Kalo diem malam-malam mandangi bulan dan
bintang dari jendela kamar dengan mata menerawang—cukup melankolisnya, itu
bohong—gue suka mikir, kenapa dulu gue gini… kenapa dulu gue gitu. Gue nyesel.
Gue nyesel kenapa gue dulu jadian sama dia, kenapa nggak sama bokapnya aja—si
Om seksi berkumis klimis dan berhati selembut kulit durian. Oke, nggak gitu.
Gue nggak perlu nulis gue nyesel kenapa, (nah, yang kepo protes tuh!) yang
pasti setiap kita mengalami kegagalan—baik dalam kehidupan percintaan atau
lainnya—penyesalan pasti ada.
Sampai akhirnya gue baca
tulisan dari buku Marmut Merah Jambu karangan calon suami gue,
Raditya Dika (kita bakal married tanggal 30 Februari 2014!
Mohon doa restunya ^^). Di dalam buku itu ada kata-kata yang kurang lebih
seperti ini (nggak persis loh):
“Setiap belalang sembah abis kawin, belalang sembah yang betina akan memakan kepala yang jantan. Serem abis, tapi kenapa masih ada belalang yang mau kawin? Emangnya emaknya si belalang (bokapnya udah pasti nggak ada) nggak ngasih tau anaknya ‘Nak, jangan kawin, nanti kepalamu buntung!’. Tapi gue mengambil kesimpulan sendiri bahwa semua belalang jantan udah tahu kepalanya bakalan dimakan kalo mereka kawin, tapi mereka tetep mau kawin. Kesimpulannya, belalang sembah jantan berani mati demi cinta. Seperti manusia, pacaran pada dasarnya punya risiko: ngambek, marah, dan akhirnya diselingkuhi, dan patah hati. Tapi kita tetep aja masih mau pacaran. Karena kita, seperti belalang, tahu bahwa untuk mencintai seseorang, butuh keberanian.”
Habis baca tulisan Radith
soal belalang sembah, gue mikir bahwa gue nggak seharusnya nyalahin orang
ataupun diri sendiri untuk suatu hubungan percintaan yang gagal. Karena waktu
gue mengiyakan pas dia nembak, gue sendiri sudah tau resiko dari berpacaran.
Dan seperti belalang, gue tau
bahwa untuk mencintai seseorang, butuh keberanian. Keberanian untuk menghadapi
resiko yang mungkin datang. Keberanian untuk merasakan kegagalan. Keberanian
untuk move on saat semuanya sudah berakhir.
Keberanian untuk putus cinta.
Gue akhirnya sadar (kayak di
film-film dimana pemainnya bilang “Aha!” dan lalu ada lampu bohlam kuning
menyala di atas kepalanya entah kenapa dan bagaimana) tentang semua ini, dan
itu karena tulisan jenaka ringan bermakna dalam dari Radith (Emang ya, calon
laki gue inspiring abis). Itulah kenapa gue
ngefans berat sama dia: dia bisa menghibur gue, nggak peduli gue lagi dalam
kondisi seperti apa pun. Gue berterimakasih banget sama Radith for being such an
awesome guy.
Setelah penerangan tiba-tiba
tersebut, gue merasa it's time
to just get over it. Gue kemudian mulai menyibukkan diri sama
kegiatan-kegiatan bermanfaat yang selama ini gue malas jalanin. Gue lebih
memperhatikan orang-orang yang care sama gue. Gue ngeblog. Gue berusaha menikmati ‘me time’ yang udah
pasti bisa gue rasain hampir setiap waktu dikala jomblo. Dan akhirnya gue
berhasil move on.
Dan lalu gue berpikir lagi,
apa itu mantan? Mantan adalah orang yang pernah singgah dalam hidup kita dan
pernah membiarkan dia menjadi milik kita, serta kita pernah membiarkan diri
kita menjadi miliknya. Mantan adalah jodoh orang yang entah kenapa nyasar ke
kita dan sempat kita miliki. Mantan bukan sekedar ‘barang bekas’ seperti yang
para mantan-mantan kejam penuh dendam tuliskan di social media ("Mantanku udah punya cewek baru. Ya nggak papa, kata mamaku kita harus relain barang bekas kita yang udah nggak kita butuhkan ke orang lain yang kurang mampu", "Lo itu pantasnya di pasar loak, dasar cowok bekas!", "Mantan= Bekas= Nggak layak= Buang aja ke tong sampah dekat got depan rumah!", dan lain-lain). Kalo menurut gue, disebut 'bekas' itu lebih karena merekalah yang memberikan kenangan yang akan selalu membekas di benak kita (daleeeeem!). At last but not least, Mantan itu merupakan masa lalu
yang patut dikenang di masa kini sebagai pelajaran untuk menghindari kegagalan
yang sama di masa depan. Sekian dan terima kasih. :P
Paramita Koriston: "Aquuh pengend nangis di ujan, biar kamu yang disana nggak bisa ngeliad air mata cedih qu!".
BalasHapusRowan Atikson: "i like walk when rain fall because nobody saw me crying"
Raditya dika: "gue jadi berpikir,ternyata untuk mendapatkan sesuatu yg lebih baik,gue ga perlu menjadi manusia super. Gue hanya perlu menjadi manusia setengah salmon: berani pindah (from:manusia setengah salmon)"
gw: "mantan "Ex" yup example kita jadi punya contoh rasa jatuh cunta, rasa kangen, rasanya di sayang, rasa sakit hati dan rasanya di tinggal. Tinggal gimana cara kita ngerangkum semua rasa itu jadi rangkuman yang kita sebut "pengalaman"
find me at http://blognyayandi.blogspot.com/
Astajim itu kok ngutipnya gitu oi. Hahaha
HapusItu quote orang, baca baik-baik makanya. :P
Thanks for left a comment.
Gue udah cek blog nya, bagus kok. :D
Thank's for visiting my blog...
HapusSama-sama.. Thanks for visited my blog too
HapusKata si yandi bener sih, mending ngutip status alay org, jgn ngutip quote bgus di jadiin alay -_-
Hapus